Eksperimen Para Ahli tentang teori Behaviorisme




Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah.

Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal  lain  dalam diri orang tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus. Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov dengan teorinya yang disebut classical conditioning, John B. Watson yang dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law of Efect), dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.

1.      Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning di dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat, bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.
a.       Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan. Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian
b.      Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan berhasil mengidentifikasi empat proses: acquisition (akuisisi /fase dengan pengkondisian), extinction (eliminasi /fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan discrimination (diskriminasi).

2.      Teori Stimulus-Respons John Watson
Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri.
Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah komparatif yaitu membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R (stimulus-response).
a.       Percobaan John Watson
Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang tikus,  Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.
b.      Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional—seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk alkohol, penderita meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang dihadapinya.

3.      Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa hewan juga memiliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal munculnya operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi atau efek dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang disadari.
a.       Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons yang benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar kotak.
Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian, pada akhirnya  hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan makanan
Ketika  Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat. Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
b.      Kesimpulan Thorndike
Thorndike menggunakan kurva waktu belajar tersebut untuk membuktikan bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai benar).
 menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang signifikan. Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk lolos 'diperkuat setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang disadari).

4.      Percobaan Tollman
Sesungguhnya, pada tahun 1930 pakar psikologi AS Edward C. Tolman sudah meneliti proses kognitif dalam belajar dengan penelitian eksperimen bagaimana tikus belajar mencari jalan melintasi maze (teka-teki berupa jalan yang ruwet).   Ia menemukan bukti bahwa tikus-tikus percobaannya membentuk  “peta kognitif” (atau peta mental) bahkan pada awal eksperimen, namun tidak menampakakan hasil belajarnya sampai mereka  menerima  penguatan  untuk menyelesaikan jalannya  melintasi  maze—suatu fenomena yang disebutnya latent learning  atau  belajar latent. Eksperimen Tolman menunjukkan bahwa belajar adalah lebih dari sekedar memperkuat respons melalui penguatan

5.      Pengkondisian Disadari B.F. Skinner
Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting dari operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman. Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi istilah operant conditioning.
Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga pengakuan kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
a.       Percobaan Skinner
Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa mempelajari perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner berupa ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan respons sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari kotak; (2) persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga penguat hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant response (respons yang disadari) membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor hewan dapat melakukan respons ratusan bahkan ribuan kali per jamnya. Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.
b.      Prinsip-prinsip Operant Conditioning
Selama lebih 60 tahun dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).

0 komentar:

Posting Komentar

+